II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekologi
Ekologi merupakan ilmu yang
mempelajari organisme dalam tempat hidupnya atau dengan kata lain mempelajari
hubungan timbal-balik antara organisme dengan lingkungannya. Ekologi hanya bersifat eksploratif dengan
tidak melakukan percobaan, jadi hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang
terjadi di alam (Odum
1983), menurut Zoe’aini (2003) Ekologi dapat dibagi menjadi dua yaitu utekologi membahas sejarah hidup dan pola adaptasi
individu-individu
organisme
terhadap lingkungan,
Sinekologi membahas golongan atau kumpulan organisme yang berasosiasi bersama sebagai satu kesatuan. Bila studi dilakukan untuk mengetahui hubungan jenis serangga dengan
lingkungannya, kajian ini
bersifat autekologi, apabila studi dilakukan untuk mengetahui
karakteristik lingkungan dimana serangga itu hidup maka pendekatannya bersifat sinekologi.
EKOSISTEM PESISIR
Seseorang yang
belajar ekologi sebenarnya
mempertanyakan berbagai hal antara lain adalah bagaimana alam bekerja, species beradaptasi dalam habitatnya, apa yang diperlukan organisme dari habitatnya untuk melangsungkan kehidupan, organisme mencukupi kebutuhan materi dan energy, interaksi antar species dalam lingkungan, individu-individu dalam pecies diatur dan berfungsi sebagai populasi,
dan bagaimana keindahan ekosistem tercipta
(Zoe’ani,2003).
2.2 Ekosistem Pesisir
Ekosistem pesisir
merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (organisme hidup) dan
nir-hayati (fisik), mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk
meningkatkan mutu kehidupan manusia. Karakteristik dari ekosistem pesisir adalah mempunyai
beberapa jumlah ekosistem yang berada di daerah pesisir. Contoh ekosistem lain
yang ikut kedalam wilayah ekosistem pesisir adalah ekosistem mangrove,
ekosistem lamun ( seagrass ), dan ekosistem terumbu karang. (Aci,
2012).
2.1.1 Manggrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang
dan surut berperan dalam melindungi garis pantai dari
erosi, gelombang laut
dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan
tanah
dengan
menangkap
dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air
sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus (Irwanto, 2006).
Biota yang
paling banyak dijumpai di ekosistem mangrove adalah crustacea dan moluska, kepiting,
Uca sp dan berbagai spesies sesamanya, umumnya dijumpai di hutan mangrove kepiting-kepiting
yang dapat dikonsumsi (Scylla serrata)
termasuk produk mangrove yang bernilai ekonomis dan menjadi sumber mata
pencaharian penduduk sekitar hutan mangrove (Pramudji, 2010).
2.1.2
Lamun
Lamun (seagrass)
adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat tumbuh
dengan baik dalam lingkungan laut dangkal, semua lamun adalah tumbuhan
berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar,
rimpang (rhizoma), daun, bunga dan
buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh
di darat. Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae) (Azkab, 2010), fungsi utama
ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang berada diperairan sekitarnya, ekosistem lamun merupakan produsen primer
dalam rantai makanan di perairan laut dengan produktivitas primer
berkisar antara
900-4650
gC/m2/tahun.
Pertumbuhan,
morfologi, kelimpahan dan
produktivitas primer
lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan
ammonium. Sejak tahun
1980 sampai sekarang, diperkirakan
lamun di dunia telah mengalami degradasi
sebesar 54 % (Purnama,2011).
Sebagaimana terumbu karang, padang lamun menjadi menarik karena
wilayahnya sering menjadi tempat berkumpul berbagai flora dan fauna akuatik
lain dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Di padang lamun juga hidup alga
(rumput laut), kerang-kerangan (molusca), beragam jenis ekinodermata
(teripang-teripangan), udang, dan berbagai jenis ikan. Dari sekian banyak hewan
laut, penyu hijau (Chelonia mydas)
dan ikan duyung atau dugong (dugong dugon)
adalah dua hewan ‘pencinta berat’ padang lamun. Boleh dikatakan, dua hewan ini
amat bergantung pada lamun. Hal ini tak lain karena tumbuhan tersebut merupakan
sumber makanan penyu hijau dan dugong. Penyu hijau biasanya menyantap jenis
lamun Cymodoceae, Thalassia, dan Halophila. Sedangkan dugong senang memakan jenis Poisidonia dan Halophila. Dugong mengkonsumsi lamun terutama bagian daun dan akar
rimpangnya (rhizoma) karena dua
bagian ini memiliki kandungan nitrogen cukup tinggi (Pramanda, 2009).
2.1.3 Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan suatu himpunan integral
dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Ekosistem ini merupakan ekosistem perairan dangkal yang sangat produktif
sehingga sangat penting untuk mendukung
kehidupan manusia, terumbu karang mempunyai
berbagai fungsi antara lain sebagai gudang keaekaragaman
hayati laut, tempat tinggal sementara
atau tetap, tempat mencari makan (feeding
ground), tempat berpijah (spawning
ground), daerah asuhan (nursery
ground), tempat berlindung bagi hewan laut lainnya. Terumbu karang berfungsi sebagai biofisik dimana
siklus biologi kimiawi
dan fisik secara global yang mempunyai tingkat
produktifitas yang sangat tinggi
(Siringoringo, 2010).
2.2 Organisme Intertidal
Ekosistem intertidal
merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat mulai
dari pasang paling tinggi didaerah pasir sampai surut paling tinggi di daerah
laut. Pembagian wilayah pada daerah intertidal adalah zona pasang surut tinggi,
zona pasang surut pertengahan, dan zona pasang surut rendah. Pada zona pasang
surut tinggi adalah pada saat hempasan gelombang paling tinggi di daerah pasir.
Pada zona ini memiliki salinitas yang tinggi karena terjadi penguapan dimana porusitas
pada pasir sehingga hewan yang hidup didaerah ini adalah hewan yang beradaptasi
dengan salinitas tinggi. Biasanya ditemukan kepiting tentara yang bersembunyi
dipasir. Zona pasang surut pertengahan memiliki salinitas yang tidak terlalu
tinggi dan zona pasang surut rendah memiliki salinitas yang rendah. Berikut
dapat dilihat gambar pembagian wilayah intertidal (Brotowidjoyo,2004).
Gambar 1. Organisme
Intertidal.
Zona intertidal dapat juga disebut dengan zona litoral atau
wilayah pasang surut, hanya pada ekosistem intertidal masih ada zona tambahan
yaitu zona supralitoral yaitu daerah pasang tertinggi bagian pasir yang basah
pada saat pasang tinggi. Banyak organisme mobile,
seperti siput dan kepiting, menghindari fluktuasi suhu dengan merangkak di
sekitar dan mencari makanan di pasang tinggi dan bersembunyi di dingin,
lembab tempat perlindungan (celah-celah atau lubang) pada saat air surut.
Selain itu hanya tinggal diketinggian pasang lebih rendah, organisme non-motil
mungkin lebih tergantung pada mekanisme bertahan. Sebagai contoh, organisme
surut tinggi memiliki respon yang kurang kuat, respon fisiologis membuat
protein yang membantu pemulihan dari stres suhuhanya sebagai alat bantu respon
kekebalan dalam pemulihan dari infeksi (Anonim,
2011).
2.3.
Klasifikasi Organisme
Pada gastropoda habitat hidup terdapat di
darat, perairan tawar dan terbanyak di laut. Class pelecypoda umumnya terdapat di dasar perairan yang berlumpur atau
berpasir, beberapa hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung atau
batu (Aslan dkk,2011). Menurut Suwignyo (2005) klasifikasi dari Burungo (Telescopium telescopium) adalah sebagai berikut :
Kingdom:
Animalia
Philum:
Mollusca
Class:
Gastropoda
Ordo :
Mesogastropoda
Familly: Potamididae
Genus: Telescopium
Spesies:
Telescopium telescopi
Gambar
2. Morfologi Burungo
(Telescopium telescopium)
Cara
memperoleh makanan dari kerang umumnya
dengan cara menyaring partikel-partikel yang terdapat dalam air laut, kerang
mempunyai Insang yang terdiri dari rambut-rambut getar yang menimbulkan arus
sehingga makanan akan mengalir masuk ke
dalam mantelnya, sekaligus akan menyaring plankton sebagai makanannya dan
menghasilkan oksigen untuk respirasnnya. Makanan dan kebiasaan makan pada gastropoda
sangat beragam yaitu ada yang bersifat herbivor, karnivor, ciliary feeder,
deposit feeder, parasit maupun scavenger.
Pada pelecypoda sebagian besar ciliary feeder, karena sebagian besar
cilia memegang peranan penting dalam mengalirkan makanan ke dalam mulut. Makanan yang tidak dapat dicerna disalurkan
oleh minor tyhosole ke usus. Makanannya adalah siput, ikan dan terutama
kepiting yang ditangkap dengan tangan-tangannya kemudian dilumpuhkan dengan
cara memakai racun pada kelenjar lidahnya (Nontji, 2005). Menurut Brotowijoyo
(2000), Kalandue (Polymesoda sp.)
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum: Mollusca
Class:
Pelecypoda
Ordo: Arcoida
Familly:
Arcoidaceae
Genus: Polymesoda
Spesies: Polymesoda sp.
Gambar 3. Morfologi Kalandue (Polymesoda sp.)
Pada dasarnya tubuh Pelecypoda
pipih secara lateral dan seluruh tubuh tertutup dua keping cangkang yang berhubungan
di bagian dorsal dengan adanya “hingeligament”,
yaitu semacam pita elastik yang terdiri dari bahan organik seperti zat tanduk (chonciolin) sama dengan periostrakum dan
bersambung dengan periostrakum cangkang. Kedua keping cangkang pada bagian dalamnya
juga ditautkan oleh sebuah otot aduktor anterior dan sebuah otot aduktor
posterior, yang bekerja secara antagonis dengan hinge ligament. Bila otot aduktor rileks, ligament berkerut, maka
keping cangkang akan terbuka, demikian pula sebaliknya. Pada kebanyakan
pelecypoda, untuk mempererat sambungan kedua keping cangkang, dibawah hinge ligament terdapat gigi atau
tonjolan pada keping yang satu dengan lekukan atau alur pada keping yang lain.
(Nontji, 2005).
Klasifikasi Bintang Laut (Protoreaster nodosus), menurut Romimohtarto (2005), adalah sebagai berikut :
Kingdom: Animalia
Phylum: Echinodermata
Class: Asteroidea
Ordo: Valvatida
Familly: Presteridae
Genus:
Protoreaster
Spesies
: Protoreaster nodosus
Gambar 4. Morfologi Bintang
Laut (Protoreaster nodosus)
Semua
jenis echinodermata mempunyai habitat di laut, mulai dari daerah litoral sampai
pada keadalaman 6000 m. Daerah Indopasifik utamanya sekitar pulau-pulau
Filipina, Kalimantan, dan Papua merupakan daerah yang banyak terdapat berbagai
jenis lely laut, timun laut, dan bintang ular. Echinodermata merupakan
satu-satunya filum yang anggotanya tidak nada yang hidup sebagai parasit.
Umumnya echinodermata dijumpai pada daerah pantai utamanya di daerah terumbu
karang dan juga di daerah pantai berbatu yang berlumpur. Di Indonesia Echinodermata banyak terdapat pada
kawasan Indofasifik barat dan sekitarya yakni teripang sebanyak kurang lebih
141 jenis, bulu babi 84 jenis, dan lely laut sebanyak 92 buah. Echinodermata hidup di pantai termasuk di laut dalam,
bahkan di palung laut (Nontji, 2005).
Polychaeta adalah kelompok hewan
invertebrata terbesar, yaitu sekitar 8000 spesies, kelompok terbesar ditemukan
di laut. Bentuk yang khas dari
polychaeta adalah bentuk tubuhnya yang beruas-ruas dan setiap ruasnya terdapat
sepasang parapodia. Menurut Bahrun (2006), Cacing laut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum :
Annelida
Class :
Polychaeta
Ordo : Nereidae
Genus : Nereis
Spesies :
Nereis Sp.
Gambar 5.
Morfologi Cacing laut (Neries sp.)
Cacing laut (Nereis
sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas,
paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir. Beberapa jenis hidup di
bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga
yang terdapat pada air tawar sampai 60 km dari laut, seperti di Bogor
(Suwigyono dkk., 2005).
Menurut Brotowijoyo
(2004), Klasifikasi dari kepiting bakau (Scylla
serata) adalah sebagai berikut:
Kingdom:
Animalia
Phylum: Crustacea
Class: Malacostraca
Ordo: Decapoda
Familly: Portunidae
Genus: Scylla
Spesies: Scylla serrata
Gambar
6. Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Crustacea dapat hidup pada berbagai tempat baik di air
tawar, air laut, dan daratan. Jenis-jenis yang hidup di darat umumnya membuat lubang
dan ada jenis-jenis tertentu yang hidup di puncak pohon. Kehidupan yang
dijalani juga sangat beragam seperti plankton, benthos, epizon, dan parasit
(Aslan dkk, 2011).
III.
METODE PRAKTEK
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum lapang ini
dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober 2012 pukul 08.00 - 02.00 WITA
bertempat di perairan Bungku Toko Kecamatan Abeli Kota Kendari Provinsi Sulawesi
Tenggara.
3.2 Alat
dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum
kali ini dapat dilihat pada tabel 1.
Table 1. Alat dan bahan yang
digunakan dalam praktek pengenalan ekosistem
No. Alat dan Bahan Satuan Kegunaan
|
1.
Alat
־
Patok m Membuat transek/plot
־
Meteran
roll m Mengukur panjang
־
Tali m Membuat transek/plot
־
Buku identifikasi Mengidentifikasi biota
2. Bahan
־
Alkohol untuk mengawetkan sampel
־
Kantong
plastic Wadah
sampel biota
3.3 Prosedur
Kerja
1.
Menentukan jenis ekosistem teresterial/akuatik yang
akan diamati;
2.
Membuat
transek yang memotong topografi dari arah laut kea rah darat (tegak lurus dari
pantai sepanjang zonasi hutan mangrove) di daerah intertidal sepanjang 50 m;
3.
Membuat transek
kuadrat dengan panjang 1x1 m, masing-masing plot 25x25 cm
4.
Meletakkan
petak (plot) atau transek kuandrat di samping line transek pada jarak yang
telagh ditentukan;
5.
Pengambilan
sampel dilakukan secara acak sistematis dengan empat kali pengambilan.
6.
Mengulangi
point ke empat dan lima pada tiap jarak yang ditentiukan (5 m).
7.
Melakukan pendataan atau inventarisasi terhadap
semua komponen baik abiotik maupun biotik yang terdapat dalam ekosistem
tersebut;
8.
Bila ditemukan jenis tumbuhan/hewan yang belum
diketahui namanya atau sukar untuk diidentifikasi di lapangan seperti jenis
plankton, maka lakukanlah koleksi untuk keperluan identifikasi;
9. Mentukan keadaan ekosistem
berdasarkan komponen penyusunnya, serta peranan masing-masing individu di dalam
ekosistem tersebut.
3.4 Analisis
Data
3.4.1Kelimpahan
Jenis
Kelimpahan jenis menyatakan jumlah individu organisme
dalam satuan luas tertentu. Untuk menghitung kelimpahan jenis organisme
digunakan rumus menurut Pennak (1953):
K
D = ----------
x 10.000
π
Dimana:
K = Kelimpahan individu jenis i (individu/m2)
Y = Jumlah individu yang ditemukan
X = Luas dasar petakan yang
digunakan dalam mengambil contoh
10.0
=
Konversi dari cm2 ke m2
Kategori
penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah
a.
H’= < 1: Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah,
kestabilan komunitas rendah
b.
H’=1
Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas sedang
c.
H’= > 3: Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi,
kestabilan komunitas tinggi
.
3.4.1
Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan
tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada dalam suatu komunitas.
Perhitungan indeks keanekaragaman menggunakan rumus Shannon Index of General Diversity dari Shannon Wienner dalam Odum (1971) dan Smith (1992),
yaitu:
ni ni
H‘ = ∑-----
log -----
N
N
Dimana: H’ =
Indeks Keanekaragaman Shannon
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu semua jenis
Kategori penilaian
untuk keanekaragaman jenis adalah
d.
H’= < 1: Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan
komunitas rendah
e.
H’=1
Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas sedang
f.
H’= > 3: Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan
komunitas tinggi.
3.4.3 Indeks Keseragaman
Indeks
keseragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat kemerataan individu tiap
spesies di dalam suatu komunitas.
perhitungan nilai Indeks Keseragaman menggunakan Evennes Index dari Shannon
Index of General Diversity dari Shannon Wienner dalam Odum (1971) dan Smith (1992), yaitu:
H’
E =
---------- ; Hmax = log 2
S
Hmax
Dimana: E = Indeks Keseragaman.
H’ = Indeks
Keanekaragam.
N = Jumlah
individu semua jenis.
Hmax =
Keanekaragaman jenis
S
= Jumlah spesies pada N yang maksimum.
Nilai
Indeks berkisar antara tinggi,
dengan kategori sebagai berikut :
0 < E 0.4
: Keseragaman kecil, komunitas tertekan
0.4 < E: Keseragaman sedang, komunitas labil
0.6<
E: Keseragaman tinggi, komunitas stabil
3.4.4 Indeks Dominansi
Indeks Dominansi
dihitung berdasarkan rumus Index of
Dominant dari Simpson dalam Odum
(1971) dan Smith (1992), yaitu:
C = ∑
(ni / N)2
Dimana: C = Indeks Dominansi
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu semua jenis.
Kategori: 0 < C < 0.5 =
Dominansi rendah
0.5 < C = Dominansi sedang
0.75 < C = Dominansi tinggi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi
Gambar 7. Perairan Pulau Bungkutoko
Pulau Bungkutoko sebagai lokasi praktikum
lapang ekologi perairan yang merupakan sebuah pulau yang terletak di muara
teluk Kendari dan secara administrasi pulau ini masuk dalam wilayah Kelurahan
Bungkutoko Kecamatan Abeli Kotamadya Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara.
letak
geografis sebagai berikut:
-
Sebelah Utara berhadapan dengan Kelurahan Kasilampe
-
Sebelah Timur berhadapan dengan Laut Banda
-
Sebelah
Selatan berhadapan dengan Kelurahan Petoaha
-
Sebelah Barat berhadapan dengan Teluk Kendari
Pulau Bungkutoko mempunyai daratan yang
terdiri dari perbukitan yang membentang dari bagian barat sampai bagian
selatan. Sedangkan bagian timur dan utara relatif rata. Luas wilayah 2,25 km2 dengan
kemiringan antara 1% - 5% dan memiliki pantai yang landai dengan dasar perairan
berpasir, berlumpur dan pasir berbatu dimana cacing laut, burungo,
kalandue, bintang laut, dan kepiting banyak hidup didaerah substrat tersebut (Kantor Kelurahan
Bungkutoko, 2009).
4.1.Hasil
Pengamatan
Tabel 2.
Data organisme pada perairan bungkutoko
No
|
Jarak
|
Organisme
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
5 Meter
|
lamun
|
7
|
Pasir berlumpur
|
Siput laut
|
8
|
|||
|
|
|||
2
|
10 Meter
|
Kerang laut
|
2
|
Pasir berlumpur
|
Siput laut
|
3
|
|||
|
|
|||
3
|
15 Meter
|
siput laut
|
7
|
Pasir berlumpur
|
Kerang laut
|
1
|
|||
|
|
|||
4
|
20 Meter
|
Siput
laut
|
7
|
Pasir berlumpur
|
Kerang laut
|
1
|
|||
|
|
|||
|
|
|||
|
|
|||
5
|
25 Meter
|
laut
|
1
|
Lumpur berpasir
|
Kepiting
|
1
|
|||
Burungo
|
2
|
|||
Kerang darah
|
1
|
|||
6
|
30 Meter
|
Cacing laut
|
2
|
Lumpur berpasir
|
Burungo
|
2
|
|||
7
|
35 Meter
|
Kalandue
|
1
|
Lumpur berpasir
|
Burungo
|
1
|
|||
8
|
40 Meter
|
Bintang laut
|
1
|
Lumpur berpasir
|
Cacing laut
|
3
|
|||
Burungo
|
2
|
|||
9
|
45 Meter
|
Kalandue
|
4
|
Lumpur berpasir
|
Burungo
|
1
|
|||
10
|
50 Meter
|
Kalandue
|
3
|
Lumpur berpasir
|
Burungo
|
2
|
Tabel 3. Analisis data kelimpahan organisme
no
|
Organisme
|
jumlah
|
kelimpahan
|
1
|
keping bakau (Scylla serrata)
|
5
|
8,928571429
|
2
|
Burungo (Teloscopium telescopium)
|
19
|
33,92857143
|
3
|
Kalandue (Polymesoda sp.)
|
14
|
25
|
4
|
cacing laut (Nereis
sp.)
|
14
|
25
|
5
|
bintang laut (Protoreaster nodosus)
|
2
|
3,571428571
|
6
|
kerang darah
|
2
|
3,571428571
|
N
|
56
|
100
|
Tabel
4. Analisis data keanekaragaman organisme
No
|
Organisme
|
Jumlah
|
Keanekaragaman
|
1
|
keping bakau (Scylla serrata)
|
5
|
0,002392
|
2
|
Burungo (Teloscopium telescopium)
|
19
|
0,034534
|
3
|
Kalandue (Polymesoda sp.)
|
14
|
0,018750
|
4
|
cacing laut (Nereis
sp.)
|
14
|
0,018750
|
5
|
bintang laut (Protoreaster nodosus)
|
2
|
0,000383
|
6
|
kerang darah
|
2
|
0,000383
|
N
|
|
56
|
0,075191
|
Tabel 5.
Analisis data keseragaman organisme
No
|
Organisme
|
Jumlah
|
Keseragaman
|
1
|
keping bakau (Scylla serrata)
|
5
|
0,001329
|
2
|
Burungo (Teloscopium telescopium)
|
19
|
0,019186
|
3
|
Kalandue (Polymesoda sp.)
|
14
|
0,010417
|
4
|
cacing laut (Nereis
sp.)
|
14
|
0,010417
|
5
|
bintang laut (Protoreaster nodosus)
|
2
|
0,000213
|
6
|
kerang darah
|
2
|
0,000213
|
N
|
56
|
0,041773
|
Tabel 6. Analisis data dominansi
No
|
Organisme
|
Jumlah
|
Dominansi
|
1
|
keping bakau (Scylla serrata)
|
5
|
0,007972
|
2
|
Burungo (Teloscopium telescopium)
|
19
|
0,115115
|
3
|
Kalandue (Polymesoda sp.)
|
14
|
0,062500
|
4
|
cacing laut (Nereis
sp.)
|
14
|
0,062500
|
5
|
bintang laut (Protoreaster nodosus)
|
2
|
0,001276
|
6
|
kerang darah
|
2
|
0,001276
|
N
|
56
|
0,250638
|
Tabel 7. Rata-rata tiap
analisis
No
|
Pengukuran
|
Rata-rata
|
1
|
Kelimpahan
|
16,666667
|
2
|
Keanekaragaman
|
0,012532
|
3
|
Keseragaman
|
0,006962
|
4
|
Dominansi
|
0,041773
|
4.3
Pembahasan
Mempelajari
ekosistem tentu bagian dari ekologi, ekologi merupkan ilmu yang mempelajari
tentang sesuatu yang
mencakup organisme (komunitas) di dalam suatu daerah yang saling mempengaruhi
dengan lingkungan fisiknya sehingga arus dan energi mengarah kestruktur
makanan, keanekaragaman biotic dan daur-daur bahan yang jelas (pertukaran
bahan-bahan antara bagian-bagian yang hidup) di dalam
sistem. ekosistem dapat dibedakan
menjadi ekosistem darat dan ekosistem perairan. Dalam ekosistem perairan
terdapat komponen-komponen pendukung ekosistem itu sendiri. Komponen-komponen
itu yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Hal ini sesuai dengan
pernyataan odum (1979) yang menyatakan bahwa Suatu konsep sentral dalam ekologi
adalah ekosistem (sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Di dalam ekosistem perairan laut atau pesisir terdapat
daerah yang di huni oleh beragam organisme intertidal, daerah ini disebut
daerah intertidal. Daerah yang merupakan daerah antara terjadinya pasang
tertinggi dengan surut terendah. Daerah intertidal. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Dahuri (2001), bahwa naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik
selama interval waktu tertentu. Pasang-surut merupakan faktor lingkungan paling
penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal. Tanpa adanya pasang-surut
yang periodik maka faktor-faktor lingkungan lain akan kehilangan pengaruhnya.
Hal ini disebabkan adanya kisaran yang luas pada banyak faktor fisik akibat
hubungan langsung yang bergantian antara
keadaan terkena udara terbuka dan keadaan terendam air.
Makrozoobentos merupakan salah satu dari keanekaragaman
jenis organisme yang hidup di daerah intertidal. Organisme intertidal memiliki keterbukaan
terhadap perubahan suhu yang ekstrem dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku
dan struktural tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal. Di daerah
tropis organisme cenderung hidup pada kisaran suhu letal atas sehingga mekanisme
keseimbangan panas hampir seluruhnya berkenaan dengan suhu yang terlalu tinggi.
Praktikum ekologi yang
dilakukan di Perairan Bungkutoko yang menjadi tujuan pengamatan pada praktikum
adalah kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi organisme yang
berasosiasi di Perairan Bungkutoko. Tekhnik pengamatan organisme dilakukan
dengan menggunakan tekhnik acak secara sistematik transek kuadrat dengan ukuran
transek 1x1 meter dengan lebar plot masing-masing 25x25 cm, sehingga plot yang
terbentuk sebanyak 16 kotak plot. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Perairan Bungkutoko, diperairan
tersebut diperoleh 6 jenis organisme yaitu Burungo (Telescopium
telescopium), Kalandue (Polymesoda
sp.), Cacing
laut (Neries sp.), Kepiting bakau (Protoreaster nodosus), Bintang laut (Protoreaster nodosus), dan Kerang dara. Jumlah
keseluruhan organisme intertidal yang didapat di Perairan Bungkutoko adalah 56
individu.
Pada jarak 5 meter sebagai awal pengamatan di dapatkan
organisme sebanyak 6 organisme dengan hasil pengamatan didapatkan burungo
sebanyak satu individu, kepiting bakau dua individu dan cacing laut sebanyak
tiga individu yang berasosiasi pada substrat pasir berlumpur. Burungo (Teloscopium telescopium) berasal dari
Filum molluska kelas gastropoda yang memiliki kebiasaan hidup pada substrat
berpasir ataupun berlumpur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aslan, dkk.(2011). Pada
gastropoda habitat hidup terdapat di darat, perairan tawar dan terbanyak di
laut. Kelas pelecypoda umumnya terdapat di dasar perairan yang berlumpur atau
berpasir, beberapa hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung, kayu
atau batu.
Kepiting
Bakau (Scylla serrata) adalah hewan yang berasal
dari Filum Crustacea kelas malacostraca yang memiliki cangkang keras dan hidup
merayap di dasar perairan yang berpasir ataupun berlumpur. Menurut Suwignyo (2005) Crustacea berasal dari bahasa yunani, yaitu
crusta yang berarti kulit yang keras dan arthros yang berarti sendi. Dengan
adanya kulit yang keras sehingga hewan ini tidak disukai oleh predator dan
dengan adanya sendi memudahkan hewan ini untuk berjalan dan berenang dengan
cepat. Filum crustacea mempunyai ukuran yang beraneka ragam yaitu kurang dari
0,1 mm sampai 60 cm. Umumnya filum crustacea 13 % hidup di Laut , di air tawar
13 %, dan 3 % di darat. Kebanyakan crustacea hidup mendominasi plankton laut
maupun air tawar.
Cacing laut merupakan hewan avertebrata dari Filum
Annelida kelas Polychaeta yang hidup di daerah
pantai berpasir dan berlumpur. Ada juga hidup menempel di sisi batu ataupun
karang. Pada pengamatan jarak 5 meter di temukan cacing laut tiga individu pada
substrat lumpur berpasir. Menurut Suwigyono dkk. (2005) Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada
pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir. Beberapa
jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang,
dan ada juga yang terdapat pada air tawar sampai 60 km dari laut, seperti di
Bogor, hasil pengamatan organisme
yang masuk dalam transek dan menjadi bahan pengamatan untuk identifikasi dari
pengamatan jarak 5 sampai 50 meter dapat dilihat pada hasil pengamatan.
Keseluruhan hewan yang di dapat merupakan hewan avertebrata air yang telah
teridentifikasi sebelumnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada “Tinjauan
Pustaka” Klasifikasi Organisme, organisme yang berasosiasi
pada daerah substrat lumpur berpasir menunjukan bahwa seluruh organisme yang di
dapat (Lihat pada Tabel 2.
Data organisme pada Perairan Bungkutoko) merupakan jenis organisme makrozoobentos,
dimana hewan tersebut hidup di dasar perairan berpasir, berlumpur maupun lumpur
berpasir.
V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Ekologi adalah
sesuatu yang mencakup organisme (komunitas) di dalam suatu daerah yang saling
mempengaruhi dengan lingkungan fisiknya sehingga arus dan energi mengarah
kestruktur makanan, keanekaragaman biotic dan daur-daur bahan yang jelas
(pertukaran bahan-bahan antara bagian-bagian yang hidup) di dalam
sistem.
2. Berdasarkan
hasil pengamatan yang diperoleh maka dapat tarik kesimpulkan yaitu jenis
organisme yang ditemukan di perairan Bungkutoko yaitu Burungo (Telscopium telcopium), Kalandue (Polymesoda sp.), Cacing laut (Neries sp.), Kepiting
bakau (Scylla
serrata), dan bintang laut (Protoreaster nodosus), dan jumlah keseluruhan organisme intertidal yang didapat di
perairan bungkutoko adalah 56 individu.Di perairan tersebut
sebagian besar substratnya lumper berpasir dan keanekaragaman dari semua organisme yang didapat sangat
rendah sehingga ke stabilan komunitas rendah.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan praktikan pada paktikum
ekologi perairan ini yaitu sebaiknya sebelum penulisan laporan dimulai terlebih dahulu
diadakan asistensi tentang penulisan laporan agar tercapai keseragaman metode penulisan laporan untuk
seluruh praktikan sehingga praktikan tidak bingung dalam penulisan laporan
praktikum.
DAFTAR
PUSTAKA
Acy. 2012. Ekosistem
Pesisir dan Pengelolaannya Di Indonesia. www.terangi.or.id. Yayasan
Terumbu Karang Indonesia (Terangi).
Aslan, L, M., Wa Iba.,
Kamri, S., Irawati., Subhan., Purnama, F, M., Jaya, I, M., Rahmansyah., Saputra, R., Tiar, S.,
Mulyani, T., Kasendri, R, A., Zhuhuriani, Riana, A. .2011. Penuntun praktikum Avertebrata Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Haluoleo.
Azkab,
H, M., 2010. Bahan Ajar Tentang Lamun.
Lembaga Penelitian Oseanografi (LIPI). Jakarta.
Brotowidjoyo. 2004. Zoologi Dasar. Erlangga.
Jakarta.
Dahuri,
Rokhmin; Jacob R; Sapta P.G; Sitepu M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paranita. Jakarta
Nontji,
A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Pramudji.
2010. Ekosistem Hutan Manggrove. Pusat Pengembangan Oseanografi Lembaga Ilm Pengetahuan
Indonesia. Jakarta. 39 Hal.
Purnama,
A., A. 2011. Pemetaan
dan
Kajian Beberapa
Aspek Ekologi Komunitas Lamun Di Perairan Pantai
Karang Tirta Padang.
Program Studi
Biologi. Program Pascasarjana. Universitas Andalas.
Pramanda,
2009. Persebaran Padang Lamun. http: Lamun/dta%20lmun/persebaran-padang-lamun.html.
Di Akses Pada tanggal July 18, 2012, 1:24:29 AM.
Rohmimohtarto,
K., dan Juwana, S. 2005. Biologi Laut.
Ilmu Pengetahuan Tentang Biota
Laut. Djambatan. Jakarta.
----------,2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan.
Jakarta
.
Suwignyo
Sugiarti, 2005. Avertebrata Air Jilid 2.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Siringoringo.
2010. Modul Karang. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta.
Zoer´aini D.I.,
2003. Prinsip-prinsip
Ekologi dan Organisasi. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar