Rabu, 02 Januari 2013

EKOSISTEM PESISIR



II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Ekologi
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari organisme dalam tempat hidupnya atau dengan kata lain mempelajari hubungan timbal-balik antara organisme dengan lingkungannya. Ekologi hanya bersifat eksploratif dengan tidak melakukan percobaan, jadi hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam (Odum 1983), menurut Zoe’aini (2003) Ekologi dapat dibagi menjadi dua yaitu utekologi  membahas  sejarah hidup dan pola adaptasi  individu-individu  organisme terhadap lingkungan, Sinekologi membahas golongan atau kumpulan organisme yang berasosiasi bersama sebagai satu kesatuan. Bila studi  dilakukan  untuk  mengetahui hubungan  jenis serangga dengan lingkungannya, kajian ini bersifat autekologi, apabila studi dilakukan untuk mengetahui karakteristik lingkungan dimana serangga itu hidup maka pendekatannya bersifat sinekologi.
EKOSISTEM PESISIR
Seseorang  yang  belajar  ekologi            sebenarnya mempertanyakan berbagai hal antara lain adalah bagaimana alam bekerja, species beradaptasi dalam habitatnya, apa yang diperlukan organisme dari habitatnya untuk melangsungkan kehidupan, organisme mencukupi kebutuhan materi dan energy, interaksi antar species dalam lingkungan, individu-individu dalam pecies diatur dan berfungsi sebagai populasi, dan bagaimana keindahan ekosistem tercipta (Zoe’ani,2003).

2.2 Ekosistem Pesisir
Ekosistem pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (organisme hidup) dan nir-hayati (fisik), mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia. Karakteristik dari ekosistem pesisir adalah mempunyai beberapa jumlah ekosistem yang berada di daerah pesisir. Contoh ekosistem lain yang ikut kedalam wilayah ekosistem pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun ( seagrass ), dan ekosistem terumbu karang. (Aci, 2012).
2.1.1 Manggrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan  tanah  dengan  menangkap  dan  memerangkap  endapan  material  dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus (Irwanto, 2006).
Biota yang paling banyak dijumpai di ekosistem mangrove adalah crustacea dan moluska, kepiting, Uca sp dan berbagai spesies sesamanya, umumnya dijumpai di hutan mangrove kepiting-kepiting yang dapat dikonsumsi (Scylla serrata) termasuk produk mangrove yang bernilai ekonomis dan menjadi sumber mata pencaharian penduduk sekitar hutan mangrove (Pramudji, 2010).

2.1.2 Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal, semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat. Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae) (Azkab, 2010), fungsi utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang berada diperairan sekitarnya, ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai makanan di perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650 gC/m2/tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan ammonium. Sejak tahun 1980 sampai sekarang, diperkirakan lamun di dunia telah mengalami degradasi sebesar 54 %  (Purnama,2011).
Sebagaimana terumbu karang, padang lamun menjadi menarik karena wilayahnya sering menjadi tempat berkumpul berbagai flora dan fauna akuatik lain dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Di padang lamun juga hidup alga (rumput laut), kerang-kerangan (molusca), beragam jenis ekinodermata (teripang-teripangan), udang, dan berbagai jenis ikan. Dari sekian banyak hewan laut, penyu hijau (Chelonia mydas) dan ikan duyung atau dugong (dugong dugon) adalah dua hewan ‘pencinta berat’ padang lamun. Boleh dikatakan, dua hewan ini amat bergantung pada lamun. Hal ini tak lain karena tumbuhan tersebut merupakan sumber makanan penyu hijau dan dugong. Penyu hijau biasanya menyantap jenis lamun Cymodoceae, Thalassia, dan Halophila. Sedangkan dugong senang memakan jenis Poisidonia dan Halophila. Dugong mengkonsumsi lamun terutama bagian daun dan akar rimpangnya (rhizoma) karena dua bagian ini memiliki kandungan nitrogen cukup tinggi (Pramanda, 2009).
2.1.3 Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan suatu himpunan integral dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Ekosistem ini merupakan ekosistem perairan dangkal yang sangat produktif sehingga sangat penting untuk mendukung kehidupan manusia, terumbu karang mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai gudang keaekaragaman hayati laut, tempat  tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan (feeding ground), tempat berpijah (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), tempat berlindung bagi hewan laut lainnya. Terumbu karang berfungsi sebagai biofisik dimana siklus biologi kimiawi dan fisik secara global yang mempunyai tingkat produktifitas yang sangat tinggi (Siringoringo, 2010).
2.2 Organisme Intertidal
Ekosistem intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat mulai dari pasang paling tinggi didaerah pasir sampai surut paling tinggi di daerah laut. Pembagian wilayah pada daerah intertidal adalah zona pasang surut tinggi, zona pasang surut pertengahan, dan zona pasang surut rendah. Pada zona pasang surut tinggi adalah pada saat hempasan gelombang paling tinggi di daerah pasir. Pada zona ini memiliki salinitas yang tinggi karena terjadi penguapan dimana porusitas pada pasir sehingga hewan yang hidup didaerah ini adalah hewan yang beradaptasi dengan salinitas tinggi. Biasanya ditemukan kepiting tentara yang bersembunyi dipasir. Zona pasang surut pertengahan memiliki salinitas yang tidak terlalu tinggi dan zona pasang surut rendah memiliki salinitas yang rendah. Berikut dapat dilihat gambar pembagian wilayah intertidal (Brotowidjoyo,2004).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoKClzsZhjsg4ozD4zXW9EJuVLjO-cBcMEOY9R6mWgUtbdLRWAP1dj86L9VXqgpqaJRWrPpSO1RVDGcBGTbnupTW8cUzCW3VXayPGXD-IPCD1okbxDQSByy1eQbyC-aUpu3l8CGTLpNnE/s320/Intertidalzoneorga.GIF









Gambar 1. Organisme Intertidal.
Zona intertidal dapat juga disebut dengan zona litoral atau wilayah pasang surut, hanya pada ekosistem intertidal masih ada zona tambahan yaitu zona supralitoral yaitu daerah pasang tertinggi bagian pasir yang basah pada saat pasang tinggi. Banyak organisme mobile, seperti siput dan kepiting, menghindari fluktuasi suhu dengan merangkak di sekitar dan mencari makanan di pasang tinggi dan bersembunyi di dingin, lembab tempat perlindungan (celah-celah atau lubang) pada saat air surut. Selain itu hanya tinggal diketinggian pasang lebih rendah, organisme non-motil mungkin lebih tergantung pada mekanisme bertahan. Sebagai contoh, organisme surut tinggi memiliki respon yang kurang kuat, respon fisiologis membuat protein yang membantu pemulihan dari stres suhuhanya sebagai alat bantu respon kekebalan dalam pemulihan dari infeksi (Anonim, 2011).
2.3. Klasifikasi Organisme
Pada gastropoda habitat hidup terdapat di darat, perairan tawar dan terbanyak di laut. Class pelecypoda umumnya terdapat di dasar perairan yang berlumpur atau berpasir, beberapa hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung atau batu (Aslan dkk,2011). Menurut Suwignyo (2005) klasifikasi dari Burungo (Telescopium telescopium) adalah sebagai berikut :
Kingdom: Animalia
                        Philum: Mollusca
                                    Class: Gastropoda
Ordo : Mesogastropoda
                                                             Familly: Potamididae
                                                                        Genus: Telescopium
                                                                                                Spesies: Telescopium telescopi






     Gambar 2. Morfologi Burungo (Telescopium telescopium)
Cara memperoleh makanan dari kerang umumnya  dengan cara menyaring partikel-partikel yang terdapat dalam air laut, kerang mempunyai Insang yang terdiri dari rambut-rambut getar yang menimbulkan arus sehingga makanan akan  mengalir masuk ke dalam mantelnya, sekaligus akan menyaring plankton sebagai makanannya dan menghasilkan oksigen untuk respirasnnya. Makanan dan kebiasaan makan pada gastropoda sangat beragam yaitu ada yang bersifat herbivor, karnivor, ciliary feeder, deposit feeder, parasit maupun scavenger.  Pada pelecypoda sebagian besar ciliary feeder, karena sebagian besar cilia memegang peranan penting dalam mengalirkan makanan ke dalam mulut.  Makanan yang tidak dapat dicerna disalurkan oleh minor tyhosole ke usus.  Makanannya adalah siput, ikan dan terutama kepiting yang ditangkap dengan tangan-tangannya kemudian dilumpuhkan dengan cara memakai racun pada kelenjar lidahnya (Nontji, 2005). Menurut Brotowijoyo (2000), Kalandue (Polymesoda sp.) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
                        Phylum: Mollusca
                            Class: Pelecypoda
                                         Ordo: Arcoida
                                                 Familly: Arcoidaceae
                                                              Genus: Polymesoda
                                                                            Spesies: Polymesoda sp.




Gambar 3. Morfologi Kalandue (Polymesoda sp.)
Pada dasarnya tubuh Pelecypoda pipih secara lateral dan seluruh tubuh tertutup dua keping cangkang yang berhubungan di bagian dorsal dengan adanya “hingeligament”, yaitu semacam pita elastik yang terdiri dari bahan organik seperti zat tanduk (chonciolin) sama dengan periostrakum dan bersambung dengan periostrakum cangkang. Kedua keping cangkang pada bagian dalamnya juga ditautkan oleh sebuah otot aduktor anterior dan sebuah otot aduktor posterior, yang bekerja secara antagonis dengan hinge ligament. Bila otot aduktor rileks, ligament berkerut, maka keping cangkang akan terbuka, demikian pula sebaliknya. Pada kebanyakan pelecypoda, untuk mempererat sambungan kedua keping cangkang, dibawah hinge ligament terdapat gigi atau tonjolan pada keping yang satu dengan lekukan atau alur pada keping yang lain. (Nontji, 2005).
Klasifikasi Bintang Laut (Protoreaster nodosus), menurut Romimohtarto (2005), adalah  sebagai berikut :
Kingdom: Animalia
         Phylum: Echinodermata
                  Class: Asteroidea
                           Ordo: Valvatida
                                    Familly: Presteridae
                                             Genus: Protoreaster
                                                      Spesies : Protoreaster nodosus











Gambar 4. Morfologi Bintang Laut (Protoreaster nodosus)
Semua jenis echinodermata mempunyai habitat di laut, mulai dari daerah litoral sampai pada keadalaman 6000 m. Daerah Indopasifik utamanya sekitar pulau-pulau Filipina, Kalimantan, dan Papua merupakan daerah yang banyak terdapat berbagai jenis lely laut, timun laut, dan bintang ular. Echinodermata merupakan satu-satunya filum yang anggotanya tidak nada yang hidup sebagai parasit. Umumnya echinodermata dijumpai pada daerah pantai utamanya di daerah terumbu karang dan juga di daerah pantai berbatu yang berlumpur. Di Indonesia Echinodermata banyak terdapat pada kawasan Indofasifik barat dan sekitarya yakni teripang sebanyak kurang lebih 141 jenis, bulu babi 84 jenis, dan lely laut sebanyak 92 buah.  Echinodermata hidup di pantai termasuk di laut dalam, bahkan di palung laut  (Nontji, 2005).
Polychaeta adalah kelompok hewan invertebrata terbesar, yaitu sekitar 8000 spesies, kelompok terbesar ditemukan di laut.  Bentuk yang khas dari polychaeta adalah bentuk tubuhnya yang beruas-ruas dan setiap ruasnya terdapat sepasang parapodia. Menurut Bahrun (2006), Cacing laut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom  :  Animalia
Phylum  : Annelida
Class  : Polychaeta
Ordo  : Nereidae
Genus  : Nereis
Spesies  : Nereis Sp.





Gambar 5. Morfologi Cacing laut (Neries sp.)
            Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir. Beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga yang terdapat pada air tawar sampai 60 km dari laut, seperti di Bogor (Suwigyono dkk., 2005).
            Menurut Brotowijoyo (2004), Klasifikasi dari kepiting bakau (Scylla serata) adalah sebagai berikut:
         Kingdom: Animalia
Phylum:  Crustacea
Class:  Malacostraca
                                    Ordo:  Decapoda
                                                Familly:  Portunidae
                                                            Genus:  Scylla
                                                                        Spesies:  Scylla serrata

 
  Gambar 6. Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Crustacea dapat hidup pada berbagai tempat baik di air tawar, air laut, dan daratan. Jenis-jenis yang hidup di darat umumnya membuat lubang dan ada jenis-jenis tertentu yang hidup di puncak pohon. Kehidupan yang dijalani juga sangat beragam seperti plankton, benthos, epizon, dan parasit (Aslan dkk, 2011).



III. METODE PRAKTEK
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum lapang ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober 2012 pukul 08.00 - 02.00 WITA bertempat di perairan Bungku Toko Kecamatan Abeli Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini dapat dilihat pada tabel 1.
Table 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam praktek pengenalan ekosistem
No.     Alat dan Bahan             Satuan                           Kegunaan

1.    Alat
־          Patok                                 m                  Membuat transek/plot
־          Meteran roll                       m                  Mengukur panjang
־          Tali                                    m                  Membuat transek/plot
־           Buku identifikasi                                   Mengidentifikasi biota
2. Bahan
־           Alkohol                                                  untuk mengawetkan sampel
־          Kantong plastic                                       Wadah sampel biota
3.3 Prosedur Kerja
1.      Menentukan jenis ekosistem teresterial/akuatik yang akan diamati;
2.      Membuat transek yang memotong topografi dari arah laut kea rah darat (tegak lurus dari pantai sepanjang zonasi hutan mangrove) di daerah intertidal sepanjang 50 m;
3.      Membuat transek kuadrat dengan panjang 1x1 m, masing-masing plot 25x25 cm
4.      Meletakkan petak (plot) atau transek kuandrat di samping line transek pada jarak yang telagh ditentukan;
5.      Pengambilan sampel dilakukan secara acak sistematis dengan empat kali pengambilan.
6.      Mengulangi point ke empat dan lima pada tiap jarak yang ditentiukan (5 m).
7.      Melakukan pendataan atau inventarisasi terhadap semua komponen baik abiotik maupun biotik yang terdapat dalam ekosistem tersebut;
8.      Bila ditemukan jenis tumbuhan/hewan yang belum diketahui namanya atau sukar untuk diidentifikasi di lapangan seperti jenis plankton, maka lakukanlah koleksi untuk keperluan identifikasi;
9.      Mentukan keadaan ekosistem berdasarkan komponen penyusunnya, serta peranan masing-masing individu di dalam ekosistem tersebut.
3.4    Analisis Data
3.4.1Kelimpahan Jenis
Kelimpahan jenis menyatakan jumlah individu organisme dalam satuan luas tertentu. Untuk menghitung kelimpahan jenis organisme digunakan rumus menurut Pennak (1953):
                                                K
                                    D  = ----------  x 10.000
                                                π       

Dimana: K = Kelimpahan individu jenis i (individu/m2)
                    Y = Jumlah individu yang ditemukan
  X = Luas dasar petakan yang digunakan dalam mengambil contoh
10.0        = Konversi dari cm2 ke m2

Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah
a.       H’= < 1: Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan komunitas rendah
b.      H’=1 
Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas sedang
c.       H’= > 3: Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan komunitas tinggi
.
3.4.1 Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada dalam suatu komunitas. Perhitungan indeks keanekaragaman menggunakan rumus Shannon Index of General Diversity dari Shannon Wienner dalam Odum (1971) dan Smith (1992), yaitu:
                                                               ni           ni
                                   H = ∑-----  log -----
                                                N            N
Dimana: H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon
                     ni = Jumlah individu setiap jenis
                     N = Jumlah individu semua jenis
Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah
d.      H’= < 1: Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan komunitas rendah
e.       H’=1 
Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas sedang
f.       H’= > 3: Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan komunitas tinggi.

3.4.3 Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat kemerataan individu tiap spesies di dalam suatu komunitas.  perhitungan nilai Indeks Keseragaman menggunakan Evennes Index dari Shannon Index of General Diversity dari Shannon Wienner dalam Odum (1971) dan Smith (1992), yaitu:
H’
E  = ---------- ;  Hmax = log 2 S
                                          Hmax

Dimana: E          = Indeks Keseragaman.                 
H’        = Indeks Keanekaragam.
N         = Jumlah individu semua jenis. 
Hmax     = Keanekaragaman jenis
S          = Jumlah spesies pada N yang maksimum.
Nilai Indeks berkisar antara tinggi,  dengan kategori sebagai berikut :
0 < E  0.4 : Keseragaman kecil, komunitas tertekan
0.4 < E: Keseragaman sedang, komunitas labil
0.6< E: Keseragaman tinggi, komunitas stabil
3.4.4 Indeks Dominansi
Indeks Dominansi dihitung berdasarkan rumus Index of Dominant dari Simpson dalam Odum (1971) dan Smith (1992), yaitu:
C  = ∑ (ni / N)2
Dimana: C = Indeks Dominansi
  ni = Jumlah individu setiap jenis
  N = Jumlah individu semua jenis.
Kategori:  0 < C < 0.5 = Dominansi rendah
0.5 < C        = Dominansi sedang
0.75 < C      = Dominansi tinggi.




IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Gambaran Umum Lokasi
26112011(002)
Gambar 7. Perairan Pulau Bungkutoko
Pulau Bungkutoko sebagai lokasi praktikum lapang ekologi perairan yang merupakan sebuah pulau yang terletak di muara teluk Kendari dan secara administrasi pulau ini masuk dalam wilayah Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kotamadya Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara.
letak geografis sebagai berikut:
-            Sebelah Utara berhadapan dengan Kelurahan Kasilampe
-            Sebelah Timur berhadapan dengan Laut Banda
-            Sebelah Selatan berhadapan dengan Kelurahan Petoaha
-            Sebelah Barat berhadapan dengan Teluk Kendari
Pulau Bungkutoko mempunyai daratan yang terdiri dari perbukitan yang membentang dari bagian barat sampai bagian selatan. Sedangkan bagian timur dan utara relatif rata.  Luas wilayah 2,25 km2 dengan kemiringan antara 1% - 5% dan memiliki pantai yang landai dengan dasar perairan berpasir, berlumpur dan pasir berbatu dimana cacing laut, burungo, kalandue, bintang laut, dan kepiting banyak hidup didaerah substrat tersebut (Kantor Kelurahan Bungkutoko, 2009).
4.1.Hasil Pengamatan
Tabel 2. Data organisme pada perairan bungkutoko
No
Jarak
Organisme
Jumlah
Keterangan
1
5 Meter
lamun
7
Pasir berlumpur
Siput laut
8


2
10 Meter
Kerang laut
2
Pasir berlumpur
               Siput laut
3


3
15 Meter
siput laut
7
Pasir berlumpur
Kerang laut
1


4
20 Meter
            Siput laut
7
Pasir berlumpur
Kerang laut
1






5
25 Meter
 laut
1
Lumpur berpasir
Kepiting
1
Burungo
2
Kerang darah
1
6
30 Meter
Cacing laut
2
Lumpur berpasir
Burungo
2
7
35 Meter
Kalandue
1
Lumpur berpasir
Burungo
1
8
40 Meter
Bintang laut
1
Lumpur berpasir
Cacing laut
3
Burungo
2
9
45 Meter
Kalandue
4
Lumpur berpasir
Burungo
1
10
50 Meter
Kalandue
3
Lumpur berpasir
Burungo
2
  Tabel 3. Analisis data kelimpahan organisme
no
Organisme
jumlah
kelimpahan
1
keping bakau (Scylla serrata)
5
8,928571429
2
Burungo (Teloscopium telescopium)
19
33,92857143
3
Kalandue (Polymesoda sp.)
14
25
4
cacing laut (Nereis sp.)
14
25
5
bintang laut (Protoreaster nodosus)
2
3,571428571
6
kerang darah
2
3,571428571
N

56
100
  Tabel 4. Analisis data keanekaragaman organisme
No
Organisme
Jumlah
Keanekaragaman
1
keping bakau (Scylla serrata)
5
0,002392
2
Burungo (Teloscopium telescopium)
19
0,034534
3
Kalandue (Polymesoda sp.)
14
0,018750
4
cacing laut (Nereis sp.)
14
0,018750
5
bintang laut (Protoreaster nodosus)
2
0,000383
6
kerang darah
2
0,000383

56
0,075191
Tabel 5. Analisis data keseragaman organisme
No
Organisme
Jumlah
Keseragaman
1
keping bakau (Scylla serrata)
5
0,001329
2
Burungo (Teloscopium telescopium)
19
0,019186
3
Kalandue (Polymesoda sp.)
14
0,010417
4
cacing laut (Nereis sp.)
14
0,010417
5
bintang laut (Protoreaster nodosus)
2
0,000213
6
kerang darah
2
0,000213
N

56
0,041773

  Tabel 6. Analisis data dominansi
No
Organisme
Jumlah
Dominansi
1
keping bakau (Scylla serrata)
5
0,007972
2
Burungo (Teloscopium telescopium)
19
0,115115
3
Kalandue (Polymesoda sp.)
14
0,062500
4
cacing laut (Nereis sp.)
14
0,062500
5
bintang laut (Protoreaster nodosus)
2
0,001276
6
kerang darah
2
0,001276
N

56
0,250638
  Tabel 7. Rata-rata tiap analisis
No
Pengukuran
Rata-rata
1
Kelimpahan
16,666667
2
Keanekaragaman
0,012532
3
Keseragaman
0,006962
4
Dominansi
0,041773

4.3 Pembahasan
Mempelajari ekosistem tentu bagian dari ekologi, ekologi merupkan ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang mencakup organisme (komunitas) di dalam suatu daerah yang saling mempengaruhi dengan lingkungan fisiknya sehingga arus dan energi mengarah kestruktur makanan, keanekaragaman biotic dan daur-daur bahan yang jelas (pertukaran bahan-bahan antara bagian-bagian yang hidup) di dalam sistem. ekosistem dapat dibedakan menjadi ekosistem darat dan ekosistem perairan. Dalam ekosistem perairan terdapat komponen-komponen pendukung ekosistem itu sendiri. Komponen-komponen itu yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Hal ini sesuai dengan pernyataan odum (1979) yang menyatakan bahwa Suatu konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem (sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
            Di dalam ekosistem perairan laut atau pesisir terdapat daerah yang di huni oleh beragam organisme intertidal, daerah ini disebut daerah intertidal. Daerah yang merupakan daerah antara terjadinya pasang tertinggi dengan surut terendah. Daerah intertidal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2001), bahwa  naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik selama interval waktu tertentu. Pasang-surut merupakan faktor lingkungan paling penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal. Tanpa adanya pasang-surut yang periodik maka faktor-faktor lingkungan lain akan kehilangan pengaruhnya. Hal ini disebabkan adanya kisaran yang luas pada banyak faktor fisik akibat hubungan langsung yang  bergantian antara keadaan terkena udara terbuka dan keadaan terendam air.
            Makrozoobentos merupakan salah satu dari keanekaragaman jenis organisme yang hidup di daerah intertidal. Organisme intertidal memiliki keterbukaan terhadap perubahan suhu yang ekstrem dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktural tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal. Di daerah tropis organisme cenderung hidup pada kisaran suhu letal atas sehingga mekanisme keseimbangan panas hampir seluruhnya berkenaan dengan suhu yang terlalu tinggi.
Praktikum ekologi yang dilakukan di Perairan Bungkutoko yang menjadi tujuan pengamatan pada praktikum adalah kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi organisme yang berasosiasi di Perairan Bungkutoko. Tekhnik pengamatan organisme dilakukan dengan menggunakan tekhnik acak secara sistematik transek kuadrat dengan ukuran transek 1x1 meter dengan lebar plot masing-masing 25x25 cm, sehingga plot yang terbentuk sebanyak 16 kotak plot. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Perairan Bungkutoko, diperairan tersebut diperoleh 6 jenis organisme yaitu Burungo (Telescopium telescopium), Kalandue (Polymesoda sp.), Cacing laut (Neries sp.), Kepiting bakau (Protoreaster nodosus), Bintang laut (Protoreaster nodosus), dan Kerang dara. Jumlah keseluruhan organisme intertidal yang didapat di Perairan Bungkutoko adalah 56 individu.
Pada jarak 5 meter sebagai awal pengamatan di dapatkan organisme sebanyak 6 organisme dengan hasil pengamatan didapatkan burungo sebanyak satu individu, kepiting bakau dua individu dan cacing laut sebanyak tiga individu yang berasosiasi pada substrat pasir berlumpur. Burungo (Teloscopium telescopium) berasal dari Filum molluska kelas gastropoda yang memiliki kebiasaan hidup pada substrat berpasir ataupun berlumpur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aslan, dkk.(2011). Pada gastropoda habitat hidup terdapat di darat, perairan tawar dan terbanyak di laut. Kelas pelecypoda umumnya terdapat di dasar perairan yang berlumpur atau berpasir, beberapa hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung, kayu atau batu.
Kepiting Bakau (Scylla serrata) adalah hewan yang berasal dari Filum Crustacea kelas malacostraca yang memiliki cangkang keras dan hidup merayap di dasar perairan yang berpasir ataupun berlumpur. Menurut Suwignyo (2005) Crustacea berasal dari bahasa yunani, yaitu crusta yang berarti kulit yang keras dan arthros yang berarti sendi. Dengan adanya kulit yang keras sehingga hewan ini tidak disukai oleh predator dan dengan adanya sendi memudahkan hewan ini untuk berjalan dan berenang dengan cepat. Filum crustacea mempunyai ukuran yang beraneka ragam yaitu kurang dari 0,1 mm sampai 60 cm. Umumnya filum crustacea 13 % hidup di Laut , di air tawar 13 %, dan 3 % di darat. Kebanyakan crustacea hidup mendominasi plankton laut maupun air tawar.
Cacing laut merupakan hewan avertebrata dari Filum Annelida kelas Polychaeta yang hidup di daerah pantai berpasir dan berlumpur. Ada juga hidup menempel di sisi batu ataupun karang. Pada pengamatan jarak 5 meter di temukan cacing laut tiga individu pada substrat lumpur berpasir. Menurut Suwigyono dkk. (2005) Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir. Beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga yang terdapat pada air tawar sampai 60 km dari laut, seperti di Bogor, hasil pengamatan organisme yang masuk dalam transek dan menjadi bahan pengamatan untuk identifikasi dari pengamatan jarak 5 sampai 50 meter dapat dilihat pada hasil pengamatan. Keseluruhan hewan yang di dapat merupakan hewan avertebrata air yang telah teridentifikasi sebelumnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada “Tinjauan Pustaka” Klasifikasi Organisme, organisme yang berasosiasi pada daerah substrat lumpur berpasir menunjukan bahwa seluruh organisme yang di dapat (Lihat pada Tabel 2. Data organisme pada Perairan Bungkutoko) merupakan jenis organisme makrozoobentos, dimana hewan tersebut hidup di dasar perairan berpasir, berlumpur maupun lumpur berpasir.






V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1  Simpulan
1.    Ekologi adalah sesuatu yang mencakup organisme (komunitas) di dalam suatu daerah yang saling mempengaruhi dengan lingkungan fisiknya sehingga arus dan energi mengarah kestruktur makanan, keanekaragaman biotic dan daur-daur bahan yang jelas (pertukaran bahan-bahan antara bagian-bagian yang hidup) di dalam sistem.
2.    Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh maka dapat tarik kesimpulkan yaitu jenis organisme yang ditemukan di perairan Bungkutoko yaitu Burungo (Telscopium telcopium), Kalandue (Polymesoda sp.), Cacing laut (Neries sp.), Kepiting bakau (Scylla serrata), dan bintang laut (Protoreaster nodosus), dan jumlah keseluruhan organisme intertidal yang didapat di perairan bungkutoko adalah 56 individu.Di perairan tersebut sebagian besar substratnya lumper berpasir dan keanekaragaman dari semua organisme yang didapat sangat rendah sehingga ke stabilan komunitas rendah.
5.2  Saran
Saran yang dapat diberikan praktikan pada paktikum ekologi perairan ini yaitu sebaiknya sebelum penulisan laporan dimulai terlebih dahulu diadakan asistensi tentang penulisan laporan agar tercapai keseragaman metode penulisan laporan untuk seluruh praktikan sehingga praktikan tidak bingung dalam penulisan laporan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Acy. 2012. Ekosistem Pesisir dan Pengelolaannya Di Indonesia. www.terangi.or.id. Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi).
Aslan, L, M., Wa Iba., Kamri, S., Irawati., Subhan., Purnama, F, M., Jaya, I, M.,      Rahmansyah., Saputra, R., Tiar, S., Mulyani, T., Kasendri, R, A., Zhuhuriani, Riana, A. .2011. Penuntun praktikum Avertebrata Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo.
Azkab, H, M., 2010. Bahan Ajar Tentang Lamun. Lembaga Penelitian Oseanografi (LIPI). Jakarta.
Brotowidjoyo.  2004.  Zoologi Dasar.  Erlangga.  Jakarta.
Dahuri, Rokhmin; Jacob R; Sapta P.G; Sitepu M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paranita. Jakarta
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Pramudji. 2010. Ekosistem Hutan Manggrove. Pusat Pengembangan Oseanografi Lembaga Ilm Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 39 Hal.
Purnama, A., A. 2011. Pemetaan dan Kajian Beberapa Aspek Ekologi Komunitas Lamun Di Perairan Pantai Karang Tirta Padang. Program Studi Biologi. Program Pascasarjana. Universitas Andalas.
Pramanda, 2009. Persebaran Padang Lamun. http: Lamun/dta%20lmun/persebaran-padang-lamun.html. Di Akses Pada tanggal ‎July ‎18, ‎2012, ‏‎1:24:29 AM.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. www.irwantoshut.com. Yogyakarta.
Rohmimohtarto, K., dan Juwana, S. 2005.  Biologi Laut.  Ilmu Pengetahuan Tentang  Biota Laut.  Djambatan.  Jakarta.
----------,2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta .
Suwignyo Sugiarti, 2005. Avertebrata Air Jilid 2. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siringoringo. 2010. Modul Karang. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta.
Zoer´aini D.I., 2003. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar